Blog

Pandemi COVID-19 Picu Paradoks Investasi: Pangkas Cost atau Terus Berinvestasi dalam Transformasi Digital?

Jum 07 Agustus 2020, Erik Meijer
The Investment Paradox during the COVID-19 Pandemic: Cut Spending or Continue to Invest in Digital Transformation

Dalam konteks digitalisasi semua aspek kehidupan modern, transformasi digital tidak lagi dipandang hanya sekadar strategi inovasi yang cocok, tetapi kunci untuk kelangsungan hidup organisasi.

Namun, transformasi digital yang sukses membutuhkan perubahan besar pada budaya perusahaan. Dan banyak organisasi bertanya-tanya apakah transformasi digital adalah langkah yang tepat untuk dilakukan sambil berjuang beradaptasi untuk mengatasi berbagai tantangan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19.

Ketidakpastian saat ini di pasar dan masyarakat pada umumnya menimbulkan beberapa pemikiran yang seolah bertentangan. Sangat menarik untuk melihat bahwa ketika berbicara tentang investasi teknologi, motivator utama untuk 32% Chief Financial Officer (CFO) di AS masih untuk mendorong pertumbuhan, menurut Survei Pulsa COVID-19 PwC. Sebaliknya, satu dari lima CFO melihat teknologi justru menjadi jalan menuju pengurangan biaya. Dalam paradoks lain, banyak CFO baru saja menghentikan hampir semua pengeluaran diskresi, terutama proyek investasi skala besar, dalam upaya untuk bertahan di periode ketidakpastian. Disisi lain, opsi tidak berinvestasi dalam berbagai inisiatif strategis untuk membuat perusahaan tetap kompetitif dapat membahayakan kelangsungan organisasi, terutama dalam jangka menengah.

Jadi apa yang harus dilakukan? Seperti apa perubahan dunia bisnis dan apa tantangannya?

Dalam sesi webinar yang diselenggarakan beberapa waktu lalu oleh Komisaris Telkomtelstra, Suryatin Setiawan, tentang ‘Operasi Bisnis selama dan setelah New Normal’, Direktur Jenderal Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo) Ismail menjelaskan pandemi COVID-19 telah memaksa orang untuk mengubah perilaku mereka secara drastis; dengan bekerja dari rumah, maupun juga belajar dan berinteraksi online. Akibat pembatasan interaksi ini, dunia usaha harus responsif dalam bersikap. Cara terbaik bagi dunia bisnis untuk merespons keadaan saat ini adalah beradaptasi daripada melakukan hibernasi. Dan metode adaptasi yang paling tepat untuk kelangsungan hidup bisnis adalah go digital. Terutama karena sebagian besar organisasi dituntut untuk melakukannya dalam skala besar agar dapat beroperasi di masa pandemi ini.

Dalam jangka pendek, COVID-19 telah mengganggu dinamika kehidupan dan bisnis, dan banyak perusahaan berjuang untuk mengatasinya. Namun, di sisi lain, ada peluang besar. Organisasi yang mampu mengubah tantangan menjadi peluang adalah mereka yang cepat beradaptasi secara digital. Karena itu, harus ditekankan bahwa transformasi digital bukanlah beban, tetapi peluang. Dalam lanskap bisnis yang kian kompetitif, organisasi yang mampu bertahan akan menggunakan periode ini untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi fase pertumbuhan berikutnya, beradaptasi dengan kebutuhan pelanggan yang berubah, dan membangun model bisnis di atas realitas baru dan efisiensi operasional.

Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Ismail menyerukan perlunya investasi cepat yang dapat menjadi pondasi untuk lompatan pertumbuhan (leapfrog) serta menangkap potensi baru (untap market, efisiensi, ataupun meluncurkan layanan baru).

Menyadari kondisi saat ini, Dirjen Ismail mengidentifikasi bahwa “pemenang dalam perlombaan” ini adalah mereka yang beradaptasi cepat dengan teknologi digital melalui:

1. Komitmen Manajemen Senior

Manajemen puncak harus mengubah pola pikirnya mengenai inisiatif strategis untuk berinvestasi dalam teknologi digital agar dapat bertahan dan bahkan bergerak lebih jauh kedepan.

2. Ekosistem Bakat Digital

Bakat digital (digital talent) adalah suatu keharusan. Ini dapat dikembangkan melalui hal-hal seperti pelatihan potensi bakat internal dan/atau perekrutan profesional yang ada.

3. Memikirkan Kembali Proses Bisnis

Tinjau proses bisnis yang ada dan kembangkan inovasi baru dengan menerapkan pola pikir digital.

Upaya pemerintah Indonesia untuk mengatasi tantangan yang dihadapi sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK) selama dan setelah COVID-19, tetap menggunakan prinsip yang sama. Pemerintah telah mengidentifikasi empat tantangan utama yang dihadapi oleh sektor TIK, sebagai prioritas saat ini:

1. Penyempurnaan infrastruktur telekomunikasi

Layanan telekomunikasi telah menjadi sangat penting bagi masyarakat selama pandemi, dan akan tetap demikian setelah itu. Indonesia perlu menyediakan konektivitas ke semua wilayah kedaulatannya sesegera mungkin. Menurut data Kementerian Informasi dan Komunikasi, 9.113 desa/kota terpencil, terbelakang, dan terluar belum tersentuh jaringan 4G. Sementara itu, 3.435 desa/kelurahan yang tidak diklasifikasikan terpencil, terbelakang, atau terluar juga belum tersentuh jaringan 4G. Mengatasi masalah ini, pada 3 Agustus 2020, Presiden Indonesia mengeluarkan arahan untuk mempercepat penyediaan layanan internet untuk 12.500 desa yang masih belum terlayani di seluruh negeri ini.

2. Menjaga kedaulatan data

Dengan semakin banyaknya transaksi, semakin banyak data dari Indonesia dihasilkan, digunakan, dan disimpan oleh platform digital. Penting untuk melindungi data ini.

3. Mendorong pertumbuhan platform dan aplikasi lokal

Masih ada banyak ruang yang dapat diisi oleh platform lokal dan aplikasi lintas sektor.

4. Membangun kompetensi talenta digital

Menurut Tan & Tang dalam laporan Bank Dunia pada tahun 2016, Indonesia membutuhkan 600.000 talenta digital baru setiap tahun. Jumlah total talenta digital yang dibutuhkan di negara ini akan mencapai 9 juta pada tahun 2030.

Investasi Lanjutan

Perlu diingat bahwa sebelum krisis pandemi COVID-19 terjadi, sebagian besar bisnis mengakui pentingnya transformasi digital untuk meningkatkan daya saing untuk tumbuh dalam masyarakat yang semakin digital. Walaupun demikian, sejumlah perusahaan tidak merasakan tekanan untuk menjalani transformasi ini. Akan tetapi, situasi pandemi ini membuat investasi digital menjadi suatu keharusan, karena bisnis diharuskan untuk beradaptasi dengan operasional kerja yang lebih aman untuk pegawai, baik dari jarak jauh atau melalui jam kerja yang fleksibel. Teknologi telah menjadi tulang punggung yang mendukung operasi perusahaan, memungkinkan pekerjaan terdistribusi, dan mendorong pergeseran ke proses digital secepat mungkin.

Pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung telah menggarisbawahi pentingnya organisasi untuk menjadi digital dan dapat beradaptasi, misalnya dengan menghubungkan semua karyawan ke solusi kerja yang fleksibel, untuk berkolaborasi kapan saja dimana saja, seperti Microsoft 365 atau menggeser pusat layanan pelanggan ke pusat kontak cloud (Cloud Contact Centre). Tuntutan akan fleksibilitas ini akan mendorong organisasi untuk terus berinvestasi dalam transformasi digital bahkan setelah pandemi.

Jika organisasi mengevaluasi kinerja mereka selama pandemi, kesenjangan yang perlu diantisipasi akan terungkap. Kelemahan ini akan menentukan prioritas investasi teknologi untuk tahun-tahun mendatang. Adopsi yang diperlukan dari beberapa teknologi selama pandemi telah memberikan dorongan bagi beberapa organisasi untuk mengatasi hambatan investasi dan telah memberikan kurva pembelajaran yang mungkin belum pernah terlihat sebelumnya. Perusahaan-perusahaan yang belum mengembangkan rencana masa depan untuk melanjutkan transformasi digital pasti akan tertinggal dalam menghadapi perkembangan pasar yang cepat, penuh perubahan, dan persaingan yang semakin sengit.(*)


Artikel original dimuat pada LinkedIn Pulse CEO telkomtelstra di sini.